Memaknai Hakikat Hijrah

Memaknai Hakikat Hijrah-istimewa-radarselatan.bacakoran.co
Kemudian nilai yang Kedua, adalah transformasi atau perbaikan kebudayaan dan peradaban. Hijrah dalam hal ini dimaksudkan untuk mengentaskan masyarakat dari kebudayaan atau tabiat jahiliyah menuju kebudayaan dan peradaban yang Islami.
Yaitu tatanan peradaban yang tidak memperbudak dan menjerumuskan manusia, tetapi membebaskan manusia dengan pancaran cahaya ilahi.
Dengan demikian, hijrah pada dasarnya ditujukan untuk mengembalikan moral dan martabat kemanusiaan secara universal, sebagai makhluk yang paling mulia di muka bumi.
Lalu yang Ketiga, adalah transformasi atau pengembangan dakwah keagamaan. Transformasi inilah yang sesungguhnya yang menjadi pilar utama keberhasilan dakwah Rasulullah. Persahabatan beliau dan kaum Muslim dengan kalangan non-Muslim (Ahli Kitab: Yahudi dan Nasrani) yang ada di Madinah, sesungguhnya adalah basis utama dari misi kerasulan yang diemban oleh Rasulullah.
Dari catatan sejarah kita dapat ketahui, bahwa orang yang pertama kali menunjukkan sekaligus mengakui ‘tanda-tanda kerasulan’ pada diri Nabi, adalah seorang pendeta Nasrani yang bertemu tatkala Nabi dan pamannya, Abu Thalib, berdagang ke Syria.
Kemudian, pada hijrah pertama dan kedua (ke Abesinia), pun kaum Muslim sempat ditolong oleh raja Najasy yang juga beragama Nasrani.
Dan pada saat membangun kepemimpinan di Madinah, kaum Muslim bersama kaum Yahudi dan Nasrani, saling bahu-membahu dalam ikatan persaudaraan dan perjanjian yang damai.
Fakta ini menunjukkan, betapa ajaran Islam adalah ajaran yang rahmatan lil ‘alamin, yang mengajarkan kedamaian kepada seluruh alam.
Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah,
Penting juga untuk dipahami, bahwa hijrah tidak semata-mata bermakna perpindahan fisik dari satu daerah ke daerah lain. Hijrah harus pula dimaknai secara mental-spiritual. Dengan kata lain, hijrah hakikatnya bukan sekadar pindah tempat, tetapi pindah kelakuan.
Dari kelakuan yang tidak baik menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan makna hijrah itu sendiri yang secara lughawi bermakna at-tarku wal bu’du (meninggalkan atau menjauhi). Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, dalam kitabnya Zaadu al-Ma’ajir aw ar-Risalah Tabuukiyah, dalam menjelaskan makna hijrah ini, beliau menyatakan:
Ada 2 macam hijrah. Pertama adalah hijrah jismiyah, yakni berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain.
Hijrah semacam ini hukum dan ketentuan-ketentuannya telah jelas. Dan yang kedua adalah hijrah qalbiyyah, yakni berpindahnya hati menuju kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Inilah sesungguhnya makna hijrah yang paling hakiki.
Senada dengan penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim di atas, Imam ‘Izz bin Abdis Salam ad-Dimasyqi as-Syafi’i dalam kitabnya Nadlratu an-Na’im juga mengatakan:
Bahwa ada 2 macam hijrah, yaitu ‘hijratul authan’ (meninggalkan suatu wilayah menuju wilayah yang lain) dan ‘hijratul itsmi wal ‘udwan’ (meninggalkan perbuatan dosa dan permusuhan).