radarselatan.bacakoran.co - Gunung Everest, sebagai puncak tertinggi di dunia, selalu menantang para pendaki dengan ancaman yang tak terbayangkan.
Dikenal sebagai medan pertempuran yang brutal, Everest memaksa pendaki untuk bertarung bukan hanya melawan kondisi ekstrem tetapi juga dengan alam yang ganas.
Berdasarkan pengukuran terbaru pada 2020, Everest memiliki ketinggian 8.848,86 meter di atas permukaan laut, dan ketinggiannya terus bertambah sekitar 4 mm setiap tahun akibat pergerakan lempeng tektonik.
Sebagai puncak tertinggi, Everest menjadi magnet bagi para pendaki dan petualang dari seluruh dunia, melambangkan kekuatan, ketahanan, dan ambisi manusia.
BACA JUGA:Fakta Menarik Gunung Jayawijaya: Surga Tertinggi dengan Salju Abadi di Garis Khatulistiwa
Namun, mendaki Everest bukanlah hal yang mudah. Ketinggian menjadi salah satu tantangan terbesar, dan ketika mencapai zona di atas 8.000 meter, yang dikenal sebagai zona kematian, kadar oksigen hanya sepertiga dari yang ada di permukaan laut.
Tubuh manusia tidak dirancang untuk bertahan hidup di ketinggian ekstrem ini dalam jangka panjang.
Setiap tarikan nafas menjadi perjuangan, dan kekurangan oksigen bisa menyebabkan kebingungan, kehilangan koordinasi, serta kondisi serius seperti edema paru dan edema otak, yang bisa berakibat fatal.
Di luar itu, suhu ekstrem di bawah -30°C juga meningkatkan risiko radang dingin, yang dapat menyebabkan pembekuan jaringan tubuh seperti jari tangan dan kaki, bahkan menyebabkan kematian jaringan.
BACA JUGA:Aogashima Kota Yang Berada Di Tengah Gunung Vulkanik, Paling Terisolasi Di Dunia, Pemandangannya Mengesankan
Banyak pendaki yang melaporkan kehilangan berat badan hingga 15% selama ekspedisi di ketinggian tinggi, karena tubuh mereka memerlukan energi lebih banyak dan berkurangnya nafsu makan.
Selain itu, refleksi sinar matahari dari salju yang kuat dapat merusak retina dan menyebabkan kebutaan salju, yang memperburuk kondisi.
Sejarah pendakian Everest dipenuhi dengan kisah tragis para pendaki yang meninggal karena kelelahan, hipoksia, atau cuaca ekstrem.
Mayat-mayat pendaki seringkali dibiarkan di sepanjang rute, menjadi penanda bagi pendaki berikutnya, seperti Greenbud yang terbaring di gua kecil di dekat puncak.
BACA JUGA:Mengejutkan, Peneliti UGM Temukan Gua Baru di Gunungkidul, Sangat Indah, Namun
Namun, bagi suku Sherpa, Everest bukan hanya sekadar puncak ambisi. Mereka melihat gunung ini sebagai rumah yang keras dan suci.
Sherpa menghormati Everest sebagai Sagar Mata (Dewi Langit) dalam bahasa Nepal dan Chomolungma (Ibu Suci Alam Semesta) dalam bahasa Tibet.
Setiap pendakian dimulai dengan upacara Puja, sebuah doa untuk memohon restu dan perlindungan dari dewa.
Suku Sherpa tinggal di wilayah pegunungan Himalaya, terutama di Nepal, Tibet, Bhutan, dan India. Mereka dikenal karena ketahanan fisik dan kemampuan mereka beradaptasi dengan ketinggian ekstrem.
BACA JUGA:Disebut Paling Mistis, Ini 3 Makam Keramat Di Puncak Gunung Salak
Sherpa memainkan peran penting dalam pendakian Everest, bertindak sebagai pemandu dan pengangkut logistik.
Sejak awal abad ke-20, mereka telah membantu membawa peralatan, memasang jalur pendakian, dan mendirikan tenda bagi para pendaki.
Sherpa memiliki kemampuan luar biasa untuk bekerja di medan berbahaya dengan oksigen yang sangat minim.
Mereka sering mengangkut beban hingga 50 kg atau lebih melalui jalur berbahaya seperti Kumbu Icefall dan zona kematian di atas 8.000 meter.
Meskipun pekerjaan ini berbahaya dan menuntut, penghasilan mereka sebagai pemandu jauh lebih besar daripada pendapatan rata-rata di Nepal, mencapai antara 2.000 hingga 5.000 dolar per musim pendakian.
BACA JUGA:5 Gunung Paling Mistis Di Indonesia, Salah Satunya Tempat pasar Setan Berada
Namun, pekerjaan ini juga sangat berisiko. Banyak Sherpa yang kehilangan nyawa mereka akibat longsoran salju, jatuh dari tebing, atau penyakit ketinggian.
Salah satu contoh tragis adalah longsoran salju di Kumbu Icefall pada 2014 yang menewaskan 16 pemandu Sherpa.
Sejak pendakian pertama pada 1920-an, lebih dari sepertiga dari lebih dari 300 kematian di Everest adalah milik orang Sherpa.
Ketahanan fisik mereka menarik perhatian para peneliti. Studi genomik menunjukkan bahwa orang Sherpa memiliki adaptasi genetik yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup di ketinggian tinggi dengan kadar oksigen yang rendah.
BACA JUGA:Pantai Widodaren: Destinasi Wisata Tersembunyi nan Indah di Gunung Kidul
Mereka memiliki kapasitas paru-paru yang lebih besar, sekitar 10 hingga 20% lebih besar daripada orang yang tidak terbiasa dengan ketinggian, serta kadar hemoglobin yang lebih stabil meskipun berada di ketinggian ekstrem.
Ini memungkinkan distribusi oksigen ke seluruh tubuh tetap efisien tanpa memberi beban tambahan pada jantung dan pembuluh darah.
Selain itu, Sherpa juga memiliki metabolisme yang lebih efisien di ketinggian, memungkinkan mereka menghasilkan energi dengan lebih baik meskipun dalam kondisi hipoksia.
Aktivitas fisik sehari-hari mereka, seperti mendaki bukit curam dan mengangkut barang berat, secara alami melatih tubuh mereka untuk menghadapi kondisi keras di pegunungan Himalaya.
BACA JUGA:Candi Gunung Gangsir, Situs Sejarah yang Sarat Misteri, Seperti Ini Sejarahnya
Dengan ketahanan fisik dan kemampuan luar biasa ini, suku Sherpa tetap menjadi pemandu dan penjaga jalur utama bagi pendaki yang berani menaklukkan Gunung Everest.
Mereka adalah pahlawan yang tak terungkapkan di balik banyak pendakian yang sukses.
(**)