Harga CPO Dunia Naik Tipis, Pergerakan Valuta dan Permintaan Ekspor Jadi Pemicu

RadarSelatan.bacakoran.co — Harga CPO dunia saat ini menunjukkan kenaikan moderat di tengah dinamika pasar minyak nabati global dan pengaruh kurs mata uang.
Pada 7 Oktober 2025, kontrak CPO berjangka ditutup di level 4.472 ringgit Malaysia per ton, naik sekitar 0,81 % dibanding penutupan sebelumnya.
Di Indonesia, harga referensi CPO juga mencerminkan momentum positif. Kementerian Perdagangan menetapkan harga referensi CPO untuk Agustus 2025 sebesar USD 910,91 per metrik ton sebagai acuan bea ekspor dan pungutan ekspor.
BACA JUGA:Honda NC750X 2026, Motor Petualang Serbaguna Berteknologi Modern dan Efisiensi Tinggi
Sebelumnya, untuk Juli 2025, harga referensi CPO ditetapkan USD 877,89/MT, naik sekitar USD 21,51 dari bulan sebelumnya.
Kenaikan harga CPO ini didorong oleh sejumlah faktor berikut yakni penguatan ringgit membuat CPO yang diperdagangkan dalam ringgit menjadi lebih mahal dalam perspektif dolar AS, sehingga pelaku pasar cenderung mengambil kesempatan profit taking.
Permintaan ekspor yang stabil, ekspor CPO dan produk turunannya dari Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan signifikan. Pada semester pertama 2025, ekspor produk minyak sawit meningkat dan menyumbang surplus dalam neraca dagang non-migas negara.
BACA JUGA:Suzuki Carry 2026, Legenda Truk Pikap Kembali dengan Wajah dan Teknologi Baru
Kenaikan penggunaan minyak sawit dalam program biodiesel (mandat campuran sawit) mengurangi volume CPO yang tersedia untuk ekspor, sehingga menambah tekanan kenaikan harga lokal dan global.
Walaupun saat ini harga CPO dunia relatif stabil, namun ancaman tetap ada.
Pengetatan kebijakan ekspor atau peningkatan pungutan ekspor dapat menurunkan daya saing CPO Indonesia bisa menjadi pemicu harga turun.
BACA JUGA:Begini Langkah Penyaluran dan Penerimaan Beasiswa PIP di Sekolah
Persaingan dari minyak nabati lain (seperti minyak kedelai atau minyak bunga matahari) apabila produksinya membaik bisa menarik permintaan away dari CPO.
Cuaca ekstrem atau gangguan produksi di kawasan penghasil utama dapat menurunkan pasokan dan memicu volatilitas harga tinggi. (**)