Al-Qur’an telah memberikan garis bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk mengabdi secara total kepada Allah. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS Adz-Dzariyat: 56).
Allah tidak menciptakan jin dan manusia untuk suatu manfaat yang kembali kepada Allah. Mereka diciptakan untuk beribadah kepada-Nya.
Dan ibadah itu sangat bermanfaat untuk diri mereka sendiri. Pengertian ibadah itu pun sangat luas, tak sekadar ritual kepada Allah (seperti shalat, puasa, haji, atau sejenisnya) melainkan meliputi pula kebaikan-kebaikan yang membawa kemaslahatan bagi orang lain.
Memanfaatkan umur di dunia ini menjadi sangat penting karena waktu terus berjalan, dan tak akan bisa terulang kembali. Manusia dituntut untuk memaksimalkan waktu atau kesempatan yang diberikan untuk perbuatan-perbuatan bermutu, sehingga tak menyesal di kehidupan kelak.
Orang-orang yang menyesal di akhirat digambarkan oleh Al-Qur’an merengek-rengek minta kembali agar bisa memperbaiki perilakunya.
“(Demikianlah keadaan orang-orang yang durhaka itu) hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan’.
Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.” (QS Al-Mu’minun: 99-100). J
Jamaah salat Jumat rahimakumullah. Imam Al-Ghazali mengatakan, ketika seseorang disibukkan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat dalam kehidupannya di dunia, maka sesungguhnya ia sedang menghampiri suatu kerugian yang besar.
Sebagaimana yang Ia nyatakan--dengan mengutip hadits--dalam kitab Ayyuhal Walad: “Pertanda bahwa Allah ta'ala sedang berpaling dari hamba adalah disibukkannya hamba tersebut dengan hal-hal yang tak berfaedah.”
Dan satu saat saja yang seseorang menghabiskannya tanpa ibadah, maka sudah pantas ia menerima kerugian berkepanjangan.
Dari penjelasan ini, kita patut memikirkan ulang tentang hakikat perayaan tahun baru. Momen tahunan ini seyogianya disikapi secara wajar dan tepat.
Kebahagiaan terhadap tahun baru semestinya diarahkan kepada rasa syukur terhadap masih tersisanya usia, bukan uforia kebanggaan atas tahun baru itu sendiri.
Sisa usia itu merupakan kesempatan untuk menambal kekurangan, memperbaiki yang belum sempurna, dari perilaku hidup kita di dunia. Tahun baru lebih tepat menjadi momen muhasabah (introspeksi) dan ishlah (perbaikan).
Sebuah kata-kata Syekh Ahmad ibn Atha'illah as-Sakandari dalam al-Hikam ini patut menjadi renungan: “Kadang umur berlangsung panjang namun manfaat kurang. Kadang pula umur berlangsung pendek namun manfaat melimpah.”
Semoga kita menjadi pribadi yang mampu menunaikan sisa usia kita dengan sebijak-bijaknya, dan terhindar dari perbuatan dan perkataan yang sia-sia. Amiin. Wallahu a’lam bisshawab. (**)