Contohnya, jika kita pernah meninggalkan kewajiban, maka gantilah. Jika ada shalat atau puasa yang pernah ditinggal, maka gantilah dengan qadha. Jangan karena kita merasa sudah bertaubat, kesalahan yang lalu dianggap sudah selesai.
Jika kita dulu tidak mengeluarkan zakat, maka keluarkanlah sekarang. Jika sebelumnya tidak pernah shalat dan puasa, maka setelah taubat kewajiban itu ditunaikan.
Hadirin sekalin, taubat seorang muslim berbeda dengan seorang non muslim yang masuk Islam. Bagi seorang muslim, kewajiban-kewajibannya yang telah lalu menurut pendapat yang rajih, tetap harus diganti, sementara non muslim ketika masuk Islam, maka kewajiban yang telah lalu, tidak perlu diganti atau diqadha.
Selanjutnya, syarat taubat nasuha adalah dilakukan pada waktunya. Ini artinya, taubat pun ada waktunya. Lewat dari waktu itu, kita tidak akan diterima. Waktu taubat tersebut ada yang bersifat umum, dan ada yang bersifat khusus.
Yang bersifat umum adalah selama matahari masih terbit dari timur dan terbenam di barat. Maka, bertaubat setelah matahari terbit dari barat maka taubat tidak ada artinya. Sebab itu tanda berakhirnya zaman dan tanda runtuhnya alam.
Sebagaimana firman Allah, yang artinya: “Kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu tidaklah bermanfaat lagi keimanan seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa keimanannya.” (QS. al-An‘am [6]: 158).
Sementara waktu khusus adalah saat ajal menjelang alias sakaratul maut. Karena itu, manakala ajal datang, maka tidak ada artinya taubat yang kita lakukan, berdasarkan firman Allah dalam surah an-Nisa’ “Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) apabila ajal datang kepada seseorang di antara mereka.” (QS. an-Nisa’ [4]: 18).
Hadirin sekalian, Namun syarat-syarat di atas merupakan syarat taubat yang dosanya berkaitan langsung dengan hak Allah.
Sementara, jika dosanya menyangkut hak sesama manusia maka kita harus terlebih dahulu memohon maaf kepada yang bersangkutan atau kepada orang yang pernah kita zalimi, sebelum memohon ampunan kepada Allah.
Jika ada yang pernah kita rampas, maka segeralah kembalikan. Bagaimana jika yang bersangkutan sudah tiada dan sulit ditemui, maka banyak-banyaklah memohon ampunan untuknya. Agar amal ibadah kita kelak tidak diambil oleh yang yang bersangkutan, sebagai penebus kesalahan kita.
Itulah perintah Allah kepada kita semua untuk bertaubat dan jangan pernah kita abaikan. Sebab, tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kecuali untuk kemaslahan para hamba-Nya.
Tidaklah Allah memerintahkan taubat kecuali untuk kebaikan kita semua agar segera menyadari kesalahan yang pernah diperbuat sekaligus sebagai salah satu cara memperbaiki keadaan.
Boleh jadi, kerusakan, bencana, musibah, malapetka, yang sedang menimpa kita atau saudara-saudara kita adalah akibat kesalahan, ulah tangan, dan pelanggaran kita terhadap tuntunan Allah dan rasul-Nya.
Asumsi ini tentu tidak berlebihan jika kita melihat salah satu firman-Nya: “Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah rasul, takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih,” (QS. an-Nur [24]: 63).
Hadirin rahimakumullah, Begitulah cara Allah melindungi hamba-Nya dari kerusakan, baik kerusakan agama, jiwa, akal, keturunan, maupun harta. Sebab untuk tujuan itulah salah satunya syariat Islam diturunkan.
Sekedar menguatkan contoh yang khatib kemukakan tadi, mengapa Allah mengharamkan perzinaan? Jawabannya adalah untuk melindungi harkat, martabat, dan keselamatan manusia itu sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.