Melalui ayat di atas, meski tidak secara eksplisit, Allah juga hendak berpesan kepada para hamba-Nya bahwa Dia membukakan pintu ampunan kepada mereka.
Sebab tidak mungkin rasanya jika Allah memerintahkan hamba-Nya bertaubat, sementara Dia menutup pintu ampunan.
Namun, ampunan itu tidak serta merta diberikan kepada kita selaku hamba sampai kita berusaha keras mendapatkannya.
Salah satunya dengan bertaubat nasuha tadi. Lanjutan ayat tersebut menyebutkan: “Mudah-mudahan Rabbmu menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.”
Allah menggunakan kata ‘asâ yang berarti ‘mudah-mudahan’. Penggunaan kata mudah-mudahan mengindikasikan kepada kita bahwa Allah tidak memastikan ampunan kepada hamba-Nya yang bertaubat.
Ketidakpastian ini, dimaknai oleh para ulama, bukan berarti kita sia-sia ketika bertaubat, melainkan ketidakpastian tersebut harus dipahami agar kita sungguh-sungguh menjalankan taubat dan meyakinkan Allah bahwa kita benar-benar hamba yang layak mendapatkan ampunan-Nya.
Begitulah Allah menawarkan ampunan yang menjadi hak prerogatif-Nya tetapi keberhasilannya ditentukan oleh kehendak-Nya dan seberapa besar kesungguhan hamba-Nya untuk mendapatkan ampunan tersebut.
Karena itu, tugas kita adalah berusaha menjalankan perintah Allah untuk taubat nasuha dan berusaha meyakinkan Allah bahwa kita adalah hamba yang layak mendapat ampunan dari-Nya.
Adapun yang dimaksud dengan taubat nasuha adalah taubat yang dijalankan dengan semaksimal mungkin, artinya tidak setengah-setengah, atau tidak sekadar main-main. Artinya hari ini kita bertaubat, esok kita berdosa lagi, esoknya bertaubat lagi, dan seterusnya.
Lebih jauh para ulama merinci sejumlah syarat taubat nasuha Pertama, adalah niat kita bertaubat harus tulus dan ikhlas, bukan karena ingin dipuji seseorang, atau hanya karena ingin terlihat saleh dan religius.
Karenanya, taubat ini harus dibangun atas niat yang lurus, benar-benar mengharap rida dan ampunan-Nya. Kedua, para ulama menyebut, syarat taubat nasuha itu menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan.
Di sinilah sulitnya bertaubat kepada Allah, sebab hati kita seringkali sulit diajak menyesali perbuatan salah yang telah dilakukan. Bagaimana kita akan taubat bersungguh-sungguh jika hati kita tak menyesal atau tidak mengakui kesalahan.
Ketiga, syarat taubat nasuha ialah menghentikan semampu mungkin segala dosa, baik kecil maupun besar. Sebab tak ada dosa kecil jika dilakukan secara terus menerus, dan tidak ada dosa besar jika diiringi dengan taubat. Yang dimaksud berhenti adalah tidak hanya berhenti dari dosa yang kita taubati, tetapi dari segala dosa, jika kita ingin betul-betul mencapat derajat nasuha.
Selama ini barangkali masih ada yang memahami bahwa taubat adalah menghentikan dosa tertentu, tetapi masih merasa suka mengerjakan dosa yang lain.
Maka dalam konsep taubat nasuha, semua dosa, semampu mungkin harus kita tinggalkan. Berikutnya, jika kita ingin meraih taubat nasuha, kita harus bertekad untuk tidak mengulangi dosa yang sama di masa yang akan datang, begitu juga dosa-dosa yang lain.
Para ulama menegaskan, selain bertekad tidak mengulangi, kita berusaha mengganti atau menebus kesalahan yang telah lalu.