Mari Berpartisipasi dalam Pemilihan Pemimpin
Ustaz Salimudin, M.Pd-istimewa-radarselatan.bacakoran.co
Inilah sifat-sifat ideal yang mesti ada dalam diri pemimpin, di mana pun levelnya, apa pun jenis institusinya. Kita bisa saja pesimis terhadap pilihan-pilihan yang ada di hadapan kita karena tidak memenuhi idealitas empat kriteria tadi. Tapi keputusan untuk diam sama sekali, misalnya dengan menjadi golput, jelas tidak lebih baik.
Sebab, umat tidak dipaksa memenuhi idealitas ketika hal itu tidak memungkinkan, tapi ia berkewajiban berikhtiar membuat pilihan yang “paling ideal” di antara orang-orang yang tak ideal. Atau dengan bahasa lain, memilih terbaik di antara yang terburuk.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah, Lantas dari mana kita mengetahui kriteria-kriteria itu? Cara paling mudah adalah pertama dengan melihat rekam jejaknya. Sebagai rakyat yang bakal dipimpin, pemilik hak suara mesti aktif mencari tahu tentang kualitas calon pemimpin yang hendak mereka pilih.
Sebab, sikap pasif tidak hanya membuat seseorang buta informasi tapi juga mudah dibohongi, bahkan diadu-domba.
Musyawarah Alim Ulama NU pada tahun 2012 pernah mendiskusikan persoalan ini dan berujung pada kesimpulan tidak boleh mencalonkan diri, dicalonkan, dan dipilih untuk menduduki jabatan publik (urusan rakyat/umat), orang yang terkena satu di antara beberapa hal berikut:
(1) terbukti atau diduga kuat pernah melakukan korupsi, (2) mengabaikan kepentingan rakyat, (3) cenderung memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, (4) gagal dalam melaksanakan tugas-tugas jabatan sebelumnya.
Dasar tentang hal ini sangat jelas: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil...” (QS an-Nisa: 58)
Kedua, cara calon pemimpin untuk naik ke kursi kepemimpinan. Secara ideal pemimpin tidak dianjurkan mencalonkan atau mengajukan dirinya sendiri, melainkan dicalonkan atau diajukan oleh masyarakat.
Namun, bila hal ini tidak terlaksana, setidaknya ia menggunakan cara-cara bersih dalam menunaikan proses pencalonan, kampanye, hingga prosedur pemilihan yang disepakati bersama.
Calon pemimpin wajib mengedepankan watak kejujuran (shiddiq) karena ini bekal paling mendasar dalam mewujudkan tata pemerintahan yang bersih nanti.
Kejujuran tersebut diaplikasikan mulai dari tidak melakukan politik uang (risywah), tidak membual dengan janji-janji palsu, dan sejenisnya. Juga menandakan sebagai pribadi yang amanah, tidak menyeleweng dari tanggung jawab.
emimpin memang memiliki hak politik, kewenangan-kewenangan, tapi jangan lupa bahwa ia juga memiliki tanggung jawab untuk berbuat adil dan berpihak pada kesejahteraan umum.
Calon pemimpin yang baik juga merupakan mereka yang aspiratif terhadap cita-cita rakyat (tabligh). Ia dekat dengan masyarakat, mau bertukar pikiran (musyawarah), dan peduli terhadap kepentingan publik.
Tindak lanjut dari hal ini terencananya program-program bermanfaat yang hanya bisa dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang visoner dan cerdas (fathanah).
Bila sejak pencalonan saja, seseorang terindikasi kuat bakal menyalahgunakan wewenang --misalnya dengan money politics-- rakyat yang memilih calon tersebut sejatinya sedang berbuat zalim. Pertama, zalim kepada dirinya sendiri karena menjatuhan dirinya pada “politik dagang sapi”.