Islam Ajaran yang Memuliakan Manusia

Abdullah Munir-istimewa-radarselatan.bacakoran.co

Hadirin sidang Jumat rahimakumullah,

Sebagaimana diketahui bahwa manusia dalam kenyataannya bertingkat-tingkat dalam hal status sosial dan ekonomi. Ada yang kaya, ada yang miskin; ada yang kelas bangsawan, ada yang kelas rakyat jelata; ada yang terdidik dan ada yang awam. Manusia juga berbeda-beda dalam hal ras, suku, bangsa, budaya, bahasa, dan warna kulit. Ada ras Arab, ras Persia, ras Eropa, rasa China, Melayu, dan lain sebagainya. Manusia juga berbeda keyakinan agama dan millah, aliran dan mazhabnya. Sebelum Islam datang manusia terbiasa membanggakan identitas diri dan kelompoknya, dan merendahkan identitas diri dan kelompok di luar dirinya.

Di zaman Jahiliyyah, suku-suku Arab terbiasa berperang satu sama lain semata-mata karena merasa kehormatannya terhina oleh suku lain yang menjadi musuhnya. Orang Arab berdarah bangsawan merasa terhina bila menikah dengan istri atau suami dari kalangan rendahan, budak dan hamba sahaya. Kala itu, nilai kemanusiaan diukur dari nasab keturunan atau harta kekayaan.

Namun, Islam mengubah semuanya. Islam memperbaiki cara pandang dan kriteria rasial seperti itu. Islam mengajarkan bahwa kemuliaan manusia tidak diukur dari nasab atau hartanya, tapi diukur semata-mata dari kesucian jiwannya, dari ketaqwaannya. Allah berfirman dalam dalam QS. Al-Hujurat (49) yang artinya:“Hai Manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”

Hadirin sidang Jumat rahimakumullah,

Beberapa tafsir al-Qur’an menjelaskan sebab turunnya ayat di atas. Tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir karya Ibnu Ashur menjelaskan bahwa ayat di atas turun setelah adanya peristiwa yang menandakan bentuk diskriminasi yang dipratikkan oleh suku Arab atas dasar nasab dan kesukuan. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw memerintahkan Suku Bani Bayadhah dari kalangana Anshar untuk menikahkan Abu Hindun yang merupakan salah satu budak mereka dengan perempuan dari suku mereka.

Namun, para pimpinan suku Bani Bayadhah menolak permintaan ini dengan alasan merasa terhina kehormatan sukunya bila perempuan sebagai simbol kehormatan suku dinikahkan dengan seorang budak rendahan. Maka, turunlah ayat di atas mengoreksi perspektif rasial tersebut. Riwayat lain mengatakan bahwa ayat di atas diturunkan di Makkah. Saat Fathu Makkah, Nabi menyampaikan khutbahnya yang isinya menekankan kesetaraan manusia karena sama-sama merupakan anak cucu Adam: “Kalian semua anak cucu Adam, dan Adam berasal dari tanah liat.”

Hadirin sidang Jumat rahimakumullah,

Ayat 13 dari surat al-Hujurat tersebut menunjukkan bahwa Islam menentang diskriminasi manus  ia berdasarkan ras, suku, dan status sosial. Sebaliknya ayat di atas mengajarkan nilai kesetaraaan atau musâwât antara manusia. Khitab atau pesan ayat ini diberikan kepada semua manusia (al-nâs), dan bukan hanya kepada orang Islam. Ini menunjukkan bahwa manusia tanpa kecuali pada dasarnya setara karena mereka semua berasal dari bapak yang sama, yaitu Adam, dan berasal dari ibu yang sama, yaitu Hawa. Sementara Adam sendiri diciptakan dari tanah liat. Kenyataan asal-usul penciptaan ini menunjukkan bahwa siapapun kita, dan darimanapun asal keluarga kita, serta apapun status sosial ekonomi kita, pada dasarnya kita semua diciptakan dari bahan yang sama, yaitu tanah liat yang kita semua injak-injak. Tanah liat menjadi kinayah atau kiyasan betapa rendahnya derajat setiap kita. Namun, Allah mengangkat derajat kita terlepas dari asal-usul kita yang dari tanah liat, kepada derajat yang tinggi manakala setiap kita meningkatkan kualitas kemanusiaan kita pada derajat muttaqin, orang-orang yang bertaqwa. “Sesungguhnya yang paling tinggi derajatnya diantara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Dan, Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal”.

Karena adanya potensi yang dimiliki setiap manusia, meskipun diciptakan dari tanah liat, untuk menjadi mulia di sisi Allah, maka Allah menyatakan dengan tegas bahwa Allah telah benar-benar memuliakan manusia. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Isra (17) yang artinya:“Dan sungguh, kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan kami angkut mereka di darat dan di laut, dan kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
Hadirin sidang Jumat rahimakumullah,
Dalam khutbah terakhirnya di Makkah, saat menjalankan Haji terakhirnya, Nabi Muhammmad saw menyampaikan butir-butir ajaran memuliakan manusia. Beliau mengatakan:
“Wahai manusia, ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhanmu tuhan yang satu, bahwa sesungguhnya nenek moyangmu, nenek moyang yang satu.  Karena itu, orang Arab tidak lebih mulia dari non-Arab, orang non-Arab tidak lebih mulia dari orang Arab, orang kulit hitam tidak lebih mulia dari orang kulit putih (merah), atau orang kulit putih (merah) tidak lebih mulia dari orang kulit hitam. Yang menentukan kemuliaan mereka hanyalah Taqwa.”

Hadirin sidang Jumat rahimakumullah,

Keragaman suku, rasa, bahasa, budaya, warna kulit, alian dan mazhab, merupakan fakta sosial yang memang telah menjadi hakikat penciptaan manusia itu sendiri. Perbedaan itu Sunnatullah yang tidak mungkin dibantah atau digantikan oleh siapapun dan demi alasan apapun. Begitu juga dengan perbedaan pendapatan, kekayaan, pendidikan, kemampuan dan skill, serta ilmu pengetahuan. Semua itu kenyataan sosial yang tidak mungkin dihilangkan oleh kita manusia. Namun, yang penting untuk kita renungkan bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut. Allah mengingatkan bahwa perbedaan tersebut tidak oleh dijadikan alasan atau kriteria merendahkan kelompok lain atau mengembangkan prasangka buruk terhadap mereka. Tidak pula kita mendiskriminasi manusia berdasarkan kriteria-kriteria tersebut.

Sebaliknya, Allah mengajarkan kepada kita untuk saling mengenal dan saling belajar, li ta‘arafu. Allah tidak melarang persaingan antar kelompok manusia, namun persaingan itu harus ditujukan untuk kemaslahatan manusia itu sendiri, untuk tercapainya tujuan manusia yang hakiki, untuk memperbaki akhlaqnya, untuk menyucikan jiwanya, hingga menjadi pribadi-pribadi yang muttaqin.

Namun dalam ayat tersebut Allah mengingatkan bahwa tidak ada yang boleh menilai ketaqwaan seseorang karena hanya Allah yang paling tahu. “Sesunggunhya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenali”. Siapa diantara kalian yang benar-benar suci batinnya, yang benar-benar bertaqwa. Karena itu Allah melarang orang beriman untuk menonjolkan diri sebagai orang yang suci. Mereka dilarang meninggikan diri seolah-olah orang yang paling bertaqwa, seolah-olah yang paling suci! Allah berfirman dalam QS. An-Najm (53) yang artinya:“Janganlah engkau mengatakan dirimu suci. Dia Allah yang lebih tahu siapa diantara kamu yang benar-benar bertaqwa (suci batinnya).”

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan