Tantangan Dakwah di Era Post-Truth dan Kebutuhan Seni Metodologi Khusus
Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A-Istimewa-radarselatan.bacakoran.co
RadarSelatan.bacakoran.co - Musyawarah Nasional (Munas) ke-6 Organisasi Massa Islam Hidayatullah secara resmi dibuka oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A., di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta.
Dalam sambutannya Menag Nasaruddin Umar menyoroti kompleksitas tantangan yang dihadapi ulama dan ormas Islam di tengah perubahan global, khususnya di era post-truth.
BACA JUGA:KAJIAN ISLAMI: Keberuntungan Buah Amal Saleh dan Kesucian Hati
Menag mengapresiasi dinamika Munas Hidayatullah yang dinilainya mencerminkan semangat Khaira Ummah (umat terbaik), seraya mengakui pesatnya pertumbuhan organisasi tersebut yang mampu mencakup hampir seluruh wilayah Indonesia dalam waktu yang relatif singkat.
Inti dari arahan Menag berfokus pada kesulitan menegakkan kebenaran di masa kini. Beliau mengakui bahwa bagi para ulama, kutipan ayat, hadis, dan undang-undang secara tradisional disambut dengan sikap Sami’na wa Atha’na (kami dengar dan kami patuhi).
BACA JUGA:Shalat Sebagai Sarana Utama Penenang Hati dan Jiwa Kamis
“Namun, dalam era post-truth seperti sekarang ini, kebenaran yang bersumber dari ayat, hadis, dan undang-undang ternyata bisa direlatifkan oleh politik,” tegas Menag.
Menurutnya, tiga kekuatan ini—ayat, hadis, dan undang-undang—yang seharusnya menjadi referensi valid, justru dapat dilenturkan oleh realitas politik.
BACA JUGA:Betapa Penting Menerima Nasehat Dengan Lapang Dada
Hal ini seringkali menimbulkan kebingungan di masyarakat, di mana sesuatu yang secara intelektual dan normatif valid, justru tidak tampil atau tidak dipegang oleh publik.
“Ini satu bukti bahwa kebenaran dalam era post-truth seperti sekarang ini susah ditegakkan. Maka itu, di dalam berdakwah diperlukan bukan hanya menyampaikan kebenaran itu sendiri, tapi diperlukan metodologi yang lebih khusus lagi, diperlukan seni di dalam berdakwah,” jelas Imam Besar Masjid Istiqlal ini.
BACA JUGA:Melestarikan Kekayaan Budaya Daerah Lewat Lomba Tari Andun
Menag Nasaruddin Umar menekankan pentingnya membedakan antara Al-Khair dan Al-Ma’ruf dalam konteks metodologi dakwah.
Al-Khair (Kebajikan): Mengharuskan pendekatan induktif (dari bawah ke atas), atau disebut Da’wah (seruan). Karena Al-Khair seakar kata dengan Ikhtiar (pilihan/alternatif), maka ormas Islam tidak boleh memaksakan pendapat dalam masyarakat yang plural. (**)