Masjid Wapauwe, Masjid Terua di Maluku, Usianya 6 Abad, Peninggalan Sejarah Islam di Kepulauan Rempah
Masjid tertua di Maluku-istimewa-radarselatan.bacakoran.co
radarselatan.bacakoran.co - Walaupun usianya sudah 6 abat, tetapi masjid Wapauwe Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah masih berdiri kokoh.
Masjid ini merupakan bukti sejarah perkembangan islam di negeri rempah, julukan Maluku pada zaman penjajahan.
Dalam catatan sejarah, Masjid Wapauwe didirikan pada 1414 Masehi oleh seorang pendakwah Islam, Pernada Jamilu, keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloku Kie Raha (Maluku Utara).
BACA JUGA:Sejarah dan Keindahan Bukit Gundaling, Destinasi Wisata di Sumatera Utara Yang menyimpan Cerita Haru
Dia dikenal warga sekitar dengan gelar Tuni Ulama, karena yang bersangkutan tak sempat memberitahu nama aslinya hingga wafat.
Semula Masjid Wapauwe bernama Masjid Wawane, karena terletak di lereng gunung Wawane. Di sanalah perkampungan pertama penduduk Kaitetu.
Penjaga Masjid Wapauwe, Nus Iha, bercerita Tuni Ulama dalam perjalanannya itu menemukan permukiman penduduk yang menghuni pegunungan Wawane yang masih menganut agama Hindu.
BACA JUGA:Destinasi Wisata Candi Cetho: Sejarah, Lokasi dan Info Tiket
Penduduk itu tersebar di lima perkampungan kecil di kaki Gunung Wawane yakni Desa Wawane, Assen, Atetu, Tehala, dan Nukuhaly.
Berdakwahlah dia di sana, hingga kemudian mendirikan masjid Wawane.
Ada sebuah mitos yang menjadi cerita turun temurun dari generasi ke generasi di Negeri Kaitetu, bahwa masjid Wapauwe itu turun sendiri dari lereng gunung ke pesisir pantai.
Raja Negeri Kaitetu, Muhammad Armin Lumaela menceritakan singkat soal mitos tersebut. Dia mengatakan Masjid Wapauwe yang semula di Gunung Wawane dipindahkan ke Bukit Tehala, lalu turun ke pesisir pantai sendiri.
BACA JUGA:Sejarah dan Fakta Menarik Taman Nasional Ujung Kulon, Tempat Penangkaran Satwa Langka
Masjid itu berpindah-pindah tak lain karena kedatangan kompeni Belanda alias VOC yang ingin menguasai perdagangan rempah-rempah di sana.
Abad ke-17, ketika kompeni Belanda di bawah bendera VOC datang pada 1614, demi keamanan maka penduduk kampung pindah ke lokasi baru yakni Bukit Tehala.
Bukit kecil itu berjarak sekitar 6 kilometer arah Timur Gunung Wawane. Pindahnya pemukiman diiringi pula pemindahan masjid yang dipimpin Imam bernama Rijali.
BACA JUGA:Goa Braholo, Jejak Manusia Pra Sejarah Di Gunung Kidul Yogyakarta
Di lokasi baru itu banyak pohon mangga hutan atau mangga berabu yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Akhirnya, masjid pun berganti nama menjadi Masjid Wapauwe artinya masjid yang didirikan di bawah (uwe) pohon mangga (wapa).
Pada 1646, VOC berhasil memenangkan perang dan menguasai Tanah Hitu. Demi memenuhi kepentingan politik dagang mereka, Belanda lantas memerintahkan seluruh penduduk yang bermukim di pegunungan agar segera turun ke pesisir pantai.
Tujuannya, agar mereka bisa terpantau sehingga tidak menimbulkan kekacauan.
BACA JUGA:Sejarah Kerajaan Salakanagara, Kerajaan Terua Yang Masih Menjadi Perdebatan
Masjid Wapauwe ikut pindah lokasi ke Kaitetu atau lokasi saat ini. Pemindahan masjid termasuk lima negeri yang terjadi pada tahun 1664 itu dikenal sebagai tahun berdirinya Negeri Kaitetu.
Keunikan lain Masjid Wapauwe selama berabad-abad adalah tak ditemukan sebiji pun paku di sana, hanya pasak-pasak kayu saling terkait yang didapati di setiap sudut.
Ini digunakan untuk menyambung sehingga setiap bagian-bagiannya dapat dibongkar pasang.
Jadi tak heran, jika masjid ini menjadi masjid unik sehingga memungkinkan masjid bisa berpindah-pindah.
Masjid Wapauwe memiliki ukuran luas 10 x 10 meter persegi dengan bentuk persegi.
BACA JUGA:Sejarah dan Daya Tarik Api Abadi Marpen, Fenomena Alam Menakjubkan di Jawa Tengah
Pola bangunan masjid pun masih tradisional seperti dinding masjid berbahan gaba-gaba atau pelepah pohon sagu yang dikeringkan. Sementara setengah dinding-dinding masjid bahannya bercampuran kapur.
Mimbar masjid Wapauwe berukuran 2 x 2 meter persegi, bentuknya seperti sebuah kursi yang berbahan kayu.
Untuk menambah ketinggian mimbar, alasnya ditambah anak tangga sehingga meninggi. Sedangkan pada bagian atasnya mimbar terdapat ukiran bermotif floris.
Keunikan lainnya yang masih tersimpan di Masjid Wapauwe adalah lembaran-lembaran Al-Quran tulisan tangan dari abad ke-16. Mushaf Al-quran ini ditulis tangan oleh Imam Masjid Wapauwe, Muhammad Arikulapessy pada 1550 silam.
BACA JUGA:Wisata Sejarah dan Situs Purba, Goa Pawon Di Bandung, Ada Jejak Kami Raksasa
Tak hanya itu, Masjid Wapauwe juga tersimpan sebuah kitab Barzanji dan kertas naskah khutbah jumat sepanjang 3 meter yang ditulis tangan oleh cucu pertama Imam Masjid Wapauwe, Muhammad Arikulapessy yakni Nur Cahya pada 1590.
Sekumpulan naskah khotbah tersebut akan dibacakan setiap salat Jumat di awal Ramadan. Sementara kitab Barzanji dibaca selama bulan suci Ramadan di Masjid Wapauwe atau di rumah tua keturunan 14 Imam Masjid Wapauwe, Muhammad Arikulapessy.
BACA JUGA:Bumi Pasemah, Sejarah Situs Megalitik, Serta Budaya Memuja Arwah Nenek Monyang
benda lain yang unik ditemukan di masjid adalah timbangan Zakat Fitrah seberat 2,5 kilogram yang terbuat dari campuran pasir dan kapur hingga putih telur sebagai pelekat.
Leluhur mereka menggunakan timbangan zakat kala setiap mengeluarkan zakat fitrah di bulan suci Ramadan. (**)