Jika kita lebih lanjut, ada hal yang unik dalam sistem kalender hijriyah. Karena dalam catatan sejarah, peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah sesungguhnya terjadi pada bulan Rabiul Awal, bukan pada bulan Muharram. Lalu mengapa justru bulan Muharram yang dijadikan sebagai tonggak pertama penanggalan umat Islam?.
Dalam kitab-kitab Tarikh atau sejarah Islam, banyak dijelaskan bahwa Nabi bertolak dari Mekkah menuju Madinah terjadi pada hari Kamis terakhir di bulan Shafar, dan keluar dari tempat persembunyiannya di Goa Tsur pada awal bulan Rabiul Awal, bertepatan dengan hari Senin tanggal 13 September 622.
BACA JUGA:Meski Sudah Berumur, Santri Lansia Tetap Semangat Belajar Sambung Ayat
Namun demikian, Sayidina Umar dan para sahabat Nabi yang lain saat merumuskan kalender umat Islam, memilih bulan Muharram sebagai awal tahun hijriyah. Ini karena, pada bulan Muharram-lah sesungguhnya Nabi pertama kali memiliki ’azam (rencana) untuk berhijrah.
Mengingat pada bulan Muharram itu Rasulullah telah selesai dari seluruh rangkaian ibadah haji, juga karena bulan Muharram termasuk salah satu dari 4 bulan haram dalam Islam yang dilarang oleh Allah untuk berperang. Rasulullah sendiri pernah menyebut bulan Muharram dengan sebutan “Syahrullah (Bulannya Allah)”, sebagaimana diungkapkan dalam sabdanya:
BACA JUGA:WVI BS Gelar Pelatihan dan Simulasi Satuan Pendidikan Aman Bencana
“Sebaik-baik puasa di luar bulan suci Ramadhan adalah puasa di Bulan Allah, yaitu bulan Muharram”. (Hadist diriwayatkan oleh Imam Muslim).
Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,
Peristiwa hijrah merupakan kejadian penting yang di dalamnya tersimpan banyak hikmah yang bisa kita renungkan. Setidaknya, ada 3 nilai penting dari peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah yang perlu kita teladani.
BACA JUGA:Soal Penyidikan Tukar Guling Lahan, Ini Kata Kajari Seluma
Pertama, transformasi atau perbaikan keummatan (kemanusiaan). Mengingat, misi utama hijrahnya Nabi beserta kaum muslim sesungguhnya untuk menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan. Karena betapa sebelum hijrah, penindasan dan kekejaman sangat lazim dilakukan oleh orang-orang kaya dan para penguasa terhadap masyarakat kecil yang lemah. Oleh karenanya, hijrah dalam hal ini ditujukan untuk mewujudkan suatu tatanan sosial (kemasyarakatan) yang lebih baik.
Hijrah dalam pengertian menyelamatkan ummat dari ketertindasan adalah sebuah kewajiban. Bahkan al-Qur’an menyatakan, bahwa jika ummat dalam kondisi tertindas dan ia sebenarnya mampu untuk hijrah tetapi tidak melakuan, maka ia dianggap sebagai orang yang menganiaya dirinya sendiri (zhalim).
BACA JUGA:Jumlah Investor Pasar Modal di Bengkulu Terus Meningkat
Sebab, luasnya bumi Allah dan melimpahnya rizqi di atasnya, pada dasarnya disediakan oleh Allah untuk keperluan manusia. Karena itulah, jika manusia atau masyarakat mengalami ketertindasan, Allah mewajibkan mereka untuk hijrah. Sebagaimana firman Allah dalam QS. an-Nisa (4): 97-100:
“Sesungguhnya orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘bagaimanakah kondisi kalian ini?’, mereka menjawab: ‘kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri kami (Makkah)’, para malaikat lalu berkata: ‘bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah di bumi itu?”
BACA JUGA:Usai di Kecamatan Maje, Giliran Desa di Kecamatan Nasal Terima Wifi Gratis