Oleh: Ustaz H.Nanang Budiana
Pembaca setia harian Rasel, rakhimakumullah.... Marilah kita panjatkan puji ke hadirat Allah SWT, sebagai rasa syukur atas nikmat yang telah daikarunaikan-Nya kepada kita semua selaku hamba-Nya sehingga kita masih dapat melaksanakan setiap aktivitas kita, terutama sekali untuk beribadah dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya. Sholawat seiring salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi akhir zaman yang membawa risalah kedamaian untuk semesta alam dari sang Maha Pencipta, junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Pada kesempatan khutbah kali ini khotib berwasiat kepada diri khotib pribadi khususnya dan kepada para jam’ah sekalian pada umumnya, mari kita senantiasa meningkatkan ketakwaan kita, dengan senantiasa menjalani segala perintah-Nya, dan berusaha menjauhi segala larangan-Nya, serta dengan takwa pula kita bisa berbekal menghadap sang kholiq di yaumil akhir nanti. Takwa merupakan bekal yang paling baik dalam mengarungi kehidupan kita. Takwa juga akan senantiasa menjadikan kita terjaga dari melanggar hal-hal yang telah ditentukan oleh agama dengan selalu menguatkan tekad menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan menguatkan ketakwaan, kita akan benar-benar mengaplikasikan esensi dari beragama itu sendiri dan mampu menjadi seorang muslim yang kaffah atau sempurna. Baca Juga: Khutbah Jumat: Larangan Berbuat Dzalim di Bulan Dzulqa’dah Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 208: Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam (kedamaian) secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu.” Ayat ini mengingatkan kita untuk senantiasa beragama atau berislam secara utuh dengan tidak meninggalkan satupun kewajiban-kewajiban ibadah yang telah disyariatkan oleh Islam. Kesempurnaan dalam menjalankan ibadah juga bukan hanya terkait ibadah mahdhah, yakni ibadah yang sudah memiliki ketentuan khusus. Namun kesempurnaan ini juga terkait dengan ibadah yang didalamnya memuat nilai-nilai universal agama seperti kemanusiaan, kejujuran, saling menghormati, dan tidak berbuat dzalim kepada orang lain. Kesempurnaan kita dalam beragama Islam ini akan mendatangkan keselamatan sebagaimana makna dari kata Islam itu sendiri yakni selamat. Keselamatan yang akan diraih bukan hanya saat kita hidup di dunia namun saat kita nanti berada di yaumil hisab yakni hari perhitungan saat kita mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan di dunia. Pada saat itu, kita tidak memiliki daya upaya untuk mengelak laporan data perbuatan-perbuatan kita di dunia. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Yasin ayat 65: Artinya: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” Seharusnya dengan meresapi makna dua firman Allah ini, kita sebagai manusia sadar untuk tidak mengikuti langkah-langkah setan yang dengan berbagai upayanya masuk ke dalam aliran darah kita dan mempengaruhi kita untuk tidak berislam secara sempurna. Dengan peringatan ini kita diarahkan untuk tidak terjebak dalam sikap beragama yang mengedepankan formalitas semata. Sikap ini seperti tetap melaksanakan shalat, zakat, puasa, dan sejenisnya, namun di sisi lain kita tetap melakukan kedzaliman, menyakiti orang lain, dan mengambil hak yang bukan milik kita. Naudzubillah. Terlebih di era modern saat ini, di saat sikap hedonisme (cinta kepada materi dunia) semakin terasa menjangkiti kehidupan manusia. Sikap cinta dunia ini akan rawan sekali menjadikan seseorang melakukan tindakan yang tidak menghiraukan apakah itu halal atau haram. Gemerlap dunia telah membutakan hati. Keserakahan telah mengalahkan kemanusiaan. Kekuasaan telah menumbuhkan kesombongan dan prilaku semena-mena kepada orang lain. Di depan mampu mengungkapkan teori agama secara manis, namun di belakang, praktik-praktik yang melanggar tuntunan agama masih saja dilakukan. Sikap-sikap inilah yang menjadikan seseorang jauh dari beragama secara sempurna. Inilah golongan orang yang dalam hadits Nabi riwayat Imam Muslim disebut sebagai golongan orang Muflis atau orang-orang yang merugi. Rasulullah mengingatkan: “Sesungguhnya orang yang merugi dari umatku adalah orang yang datang besok pada hari kiamat, sedang ia membawa pahala shalat, pahala puasa, pahala zakat.” “Namun ia juga datang dengan amalan mencaci ini, menuduh ini, makan hartanya orang ini, mengalirkan darahnya orang ini, memukul orang ini.” “Nah, kemudian pahala kebaikan orang yang ini pun akan diberikan kepada orang yang ini, orang yang ini pahalanya diberikan kepada orang ini.” “Apabila pahalanya yang dibuat menebus sudah habis, dosa dari orang yang didzalimi akan diberikan kepada orang ini. Lalu, dimasukkanlah ia ke dalam api neraka.” Pembaca setia harian Rasel, rakhimakumullah.... Perlu disadari bahwa beragama bukan hanya sebatas teori dan kognisi. Tidak sebatas tahu jika mencuri dan mengambil hak orang lain itu dilarang, namun nyatanya tetap melakukannya. Tahu jika berbohong itu perbuatan dosa, namun tetap mengerjakannya. Antara sisi kognitif (akal), psikomotor (tindakan) dan afektif (sikap) dalam beragama seharusnya berjalan seiringan. Sehingga beragama bukan hanya dikulitnya saja, namun benar-benar mampu mempraktikan esensi dan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama. Beragama dengan sepenuh hati dan jiwa inilah yang menjadi cara untuk menyempurnakan keIslaman kita. Di sinilah pentingnya mengolah karunia Allah swt berupa hati nurani dan nafsu. Dua hal ini merupakan kekuatan yang jika diolah dengan baik akan mampu menjadikan kita golongan orang yang selamat dan mampu beragama dengan totalitas. Hati nurani selalu membisikkan kepada kita hal-hal yang baik seperti kejujuran, keadilan, dan berkata yang baik dan benar dan sejenisnya. Namun di sisi lain, nafsu menyeret kita kepada tindakan-tindakan ceroboh yang dapat menjerumuskan pada jurang kehinaan seperti merasa hebat dan sombong, merasa lebih dari orang lain, dan sejenisnya. Maka jika nafsu telah menguasai diri, sikap merasa paling sempurna, menyepelekan orang lain, dan sombong pun akan bersemayam pada diri seseorang. Termasuk jika beragama hanya dengan nafsu. Agama akan dijadikan alat kepentingan untuk memperoleh apa yang diinginkan. Jika nafsu telah menguasai, maka seseorang akan beragama dengan mementingkan kulitnya saja dari pada isi ajaran agama itu sendiri. Mari renungkan firman Allah swt: Artinya: “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegang) pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. Mereka mendapat murka dari Allah dan (selalu) diliputi kesengsaraan.” (QS Ali Imran: 112). Demikian khutbah singkat kali ini. Semoga kita diberikan kekuatan oleh Allah swt untuk dapat menjadi seorang muslim yang secara totalitas dalam beragama. Semoga kita senantiasa mendapatkan keberkahan dalam setiap langkah kehidupan kita. Aamiin. (**)
Kategori :